Bapak dan
Ibu sayang,
aku
berharap semoga Bapak-Ibu membaca tulisan ini sambil terkikik geli. Karena
apalagi kalau bukan tak habis pikir soal tingkahku yang di mata kalian aneh.
Tinggal serumah, bisa ngobrol langsung atau berkirim pesan singkat kok malah
menulis?
Bapak dan
Ibu mungkin bertanya-tanya,
“Kenapa
anak ini harus aneh-aneh berusaha bercerita lewat tulisan?”
Kita tidak
punya waktu selamanya untuk bercerita Pak, Bu. Kali ini ijinkan aku menggunakan
kata untuk mengabadikan keinginan. Bertutur mengenai perjuangan, tentang hal
yang sedang diupayakan, soal masa depan — yang semuanya bermuara pada kalian.
Bapak
menikahi Ibu di usia 24. Ibu mengandung dan melahirkanku di usia 25. Pak, Bu —
kalian jelas bukan manusia sembarangan. Usia cemerlang malah Bapak-Ibu gunakan
demi mengurus bayi kecil yang kerjanya hanya pup dan lapar.
Dari awal
kehadiranku di dunia Bapak dan Ibu harus dengan cepat bertransformasi jadi
orang dewasa. Bujet modif motor tergeser agar uang vaksinku terpenuhi. Agenda
belanja tas dan gincu Ibu tak bisa sesering dulu lagi karena bajuku sempit
dalam hitungan hari.
Kebaikan
Bapak dan Ibu terus berlanjut sampai aku dewasa. Menjelang kuliah kusadari Ibu
makin jarang beli sepatu, jam tangan Bapak yang sudah rusak juga tak kunjung
diganti baru. Dana kuliahku, jadi alasan kenapa Bapak dan Ibu menahan diri
membeli sesuatu yang tak begitu perlu.
“Hey,
Bapak dan Ibu senang kok melakukan ini. Suatu hari kamu akan tahu, Nak —
kebahagiaan bukan cuma datang dari barang-barang. Tapi juga dari kecukupan ia
yang disayang. ”, kata Ibu pada suatu petang.
Pak, Bu.
Sesungguhnya kehadiran kalian jadi alasan kuat agar aku tak kehilangan semangat atau berhenti berjuang. Aku punya
dua orang yang kuat di belakang. Kalian membuatku tak pernah kehabisan stok
sayang.
Pendampingan Bapak-Ibu membuatku berkembang jadi anak yang berani
bermimpi. Namun di tengah gempuran mimpi, Bapak dan Ibu mengingatkanku untuk
tetap rendah hati
Ada masa
aku pernah jadi anak paling keras kepala sedunia. Merasa paling tahu, merasa
bisa memutuskan semua hal sesuai dengan keinginanku. Saran dan masukan dari
Bapak dan Ibu kuanggap hanya angin lalu.
Bapak dan
Ibu punya pilihan untuk jadi orangtua otoriter yang ogah membuka telinga demi
mendengar keinginan. Tapi hal itu tidak kalian lakukan. Ibu memilih membuka
obrolan di sore hari, berbincang ringan sembari menyelipkan nilai yang harusnya
kuteladani.
Bapak pun
melakukan hal yang sama dalam porsinya. Dengan sabar Bapak malah mengajakku
berbincang seperti orang dewasa. Bapak ceritakan harapan dan kondisi keuangan
keluarga: bukan karena apa-apa, kata Bapak. Satu yang Bapak mau, Bapak hanya
ingin aku paham diri dan tak lupa akarku.
Bapak dan
Ibu adalah dua orang yang membuatku tetap waras di tengah badai impian yang
melanda kepala. Setinggi apapun cita-cita di dada, Bapak dan Ibu membentukku
jadi orang yang tetap mau membuka telinga.
“Kamu
belum sehebat itu, Nak.“,
kata Ibu.
“Rendahkan
hati, berjalanlah terus, serap kebaikan dari sekelilingmu.”
Selama ini aku tak pernah bertanya. Apakah yang kuperjuangkan adalah
yang Bapak-Ibu harapkan? Apakah semangatku berusaha memang ada di jalan yang
selalu kalian doakan?
Jika
sekarang melongok ke belakang, sebenarnya bisa kulacak jejak-jejak keinginan
yang dititipkan pada setiap langkahku yang direncanakan.
Aku masuk
ke SMA yang jadi idaman Ibu. Jurusan kuliahku adalah impian Ayah dulu. Dalam
beberapa episode hidup, ada impian kalian yang dititipkan padaku.
Dulu, aku
yang masih labil merasa tak adil rasanya jika hidup hanya untuk melanjutkan
impian-impian kalian saja. Kuambil jalan berseberangan agar hidup terasa beda,
kupilih apapun yang terasa tak sama dari yang sudah kalian lakukan sebelumnya.
Anakmu ini
memang pernah senaif itu Pak, Bu. Tapi jika kini ditanya lagi, tak sedikitpun
keberatan kulakoni pilihan-pilihan yang dulu kalian sorongkan di hadapanku.
Lewat
tulisan ini pula kuharap akan kudengar “Iya” sebagai jawaban —saat pertanyaan-pertanyaan ini kuajukan:
“Banggakah
Bapak-Ibu pada jalan yang sudah kupilih untuk diperjuangkan?”
“Apakah sebagai anak, aku sudah cukup memenuhi segala
keinginan?”
Sebab apa
lagi yang lebih menyenangkan dari menciptakan senyum bahagia di wajah kalian,
Bapak dan Ibu sayang?
Atas nama kepercayaan dan keyakinan akan kemampuan. Untuk semangat yang
terus kalian kobarkan. Semoga Tuhan hanya membalas Bapak dan Ibu dengan kebaikan
ungkapkan
saat aku sedang merasa kurang percaya.Waktu rasa tak yakin akan kemampuan diri
melanda, Bapak dan Ibu jadi penyokong di tulang belakang agar aku bisa berjalan
lebih lama.
“Kamu tidak Bapak dan Ibu didik untuk jadi
pecundang. Bersemangatlah terus, Nak. Jadi Kesatria Semangat membuatmu tidak
pernah kehilangan alasan untuk berjuang. Jika pun akhirnya gagal, kamu masih
bisa mengangkat dagu dengan terhormat lalu pulang.”
Keyakinan
Bapak dan Ibu sering kuanggap kata-kata manis saja. “
Tapi
sekarang aku tahu. Kepercayaan kalian memang menggandakan kekuatan langkahku.
Di luar
kemampuanku boleh dipertanyakan di tengah mereka yang lebih profesional.
Kecerdasanku bisa dianggap biasa saja di antara mereka yang lebih piawai
merangkai rumus dan kata. Tapi di rumah, aku punya dua orang yang selalu
percaya. Dua orang yang selalu yakin aku mampu melakukan apa saja, selama
semangat itu ada.
Untuk
kesediaan Ibu menjadi pendengar setiap aku dilanda kesulitan. Untuk Mizone dingin di kulkas yang selalu siap
sedia menyambutku pulang. Untuk perbincangan singkat dengan Bapak yang kadang
kaku tapi sarat makna — sungguh Pak, Bu. Semoga hanya kebaikan yang datang pada
kalian berdua.
Perjuangan ini bukan cuma soal aku. Pak, Bu, anakmu ini berjanji akan
terus semangat demi membahagiakanmu
Kusadari
sekarang, Pak-Bu. Semua yang kulakukan bukan hanya demi mimpiku sendiri. Ada
senyum bangga Ibu yang akan terukir di muka waktu aku bisa lulus Sarjana. Bapak
diam-diam tak akan berhenti bercerita pada kerabat selepas tahu aku diterima
beasiswa.
Keberhasilan
jadi perwujudan keberhasilan kalian mendidikku. Tak ada alasan lagi bagiku
untuk tidak berusaha sekeras yang kumampu.
Satu yang perlu Bapak Ibu tahu.
Dari rahim Ibu dan didikan tangan Bapak tumbuh besar seorang anak yang jauh
dari sempurna, terkadang menyebalkan dan sering keras kepala. Tapi dia rela
pasang badan demi kebahagiaan kalian berdua.
Berhentilah
berlari kencang dan menualah dengan tenang Bapak-Ibuku sayang. Kini giliranku
maju ke depan, menggantikan tugas kalian membesarkan adik-adik yang masih perlu
sokongan. Merawat rumah dan membayar semua tagihan. Memastikan hanya
kebahagiaan yang menyapa sampai nanti panggilan Tuhan datang.
Ini bukan
soal balas budi. Bapak dan Ibu jelas cukup lapang hati untuk tidak minta apapun
dari anak yang sudah dibesarkan ini. Tapi bukankah sedari kecil, Bapak dan Ibu
selalu mengajarkanku arti menghargai?
Buatku,
menghargai perjuangan kalian berarti tidak menyerah pada ketidakmungkinan.
Mengobarkan semangat setiap
rasa ingin menyerah datang. Jadi Kesatria Semangat untuk tidak mudah menyerah pada
keadaan.
Demi
periuk kebahagiaan kalian, yang penuh terisi — meluber hingga ke luar.
Anak yang
berjanji terus semangat terus demi mengusahakan kebahagiaan Bapak dan Ibu,
Aku
Tidak ada komentar
Posting Komentar
tulis komentar mu di sini