ads

Rabu, 03 Juni 2015

Perjuangan ini bukan soal aku: Pak, Bu- aku akan tetap semangat demi membagianmu

Bapak dan Ibu sayang, aku berharap semoga Bapak-Ibu membaca tulisan ini sambil terkikik geli. Karena apalagi kalau bukan tak habis pikir ... thumbnail 1 summary
Bapak dan Ibu sayang,
aku berharap semoga Bapak-Ibu membaca tulisan ini sambil terkikik geli. Karena apalagi kalau bukan tak habis pikir soal tingkahku yang di mata kalian aneh. Tinggal serumah, bisa ngobrol langsung atau berkirim pesan singkat kok malah menulis?
Bapak dan Ibu mungkin bertanya-tanya,
“Kenapa anak ini harus aneh-aneh berusaha bercerita lewat tulisan?”

Kita tidak punya waktu selamanya untuk bercerita Pak, Bu. Kali ini ijinkan aku menggunakan kata untuk mengabadikan keinginan. Bertutur mengenai perjuangan, tentang hal yang sedang diupayakan, soal masa depan — yang semuanya bermuara pada kalian.

Bapak dan Ibu jelas bukan manusia sembarangan. Keikhlasan kalian menciptakan kebahagiaan membuatku berkembang
Bapak menikahi Ibu di usia 24. Ibu mengandung dan melahirkanku di usia 25. Pak, Bu — kalian jelas bukan manusia sembarangan. Usia cemerlang malah Bapak-Ibu gunakan demi mengurus bayi kecil yang kerjanya hanya pup dan lapar.
Dari awal kehadiranku di dunia Bapak dan Ibu harus dengan cepat bertransformasi jadi orang dewasa. Bujet modif motor tergeser agar uang vaksinku terpenuhi. Agenda belanja tas dan gincu Ibu tak bisa sesering dulu lagi karena bajuku sempit dalam hitungan hari.
Kebaikan Bapak dan Ibu terus berlanjut sampai aku dewasa. Menjelang kuliah kusadari Ibu makin jarang beli sepatu, jam tangan Bapak yang sudah rusak juga tak kunjung diganti baru. Dana kuliahku, jadi alasan kenapa Bapak dan Ibu menahan diri membeli sesuatu yang tak begitu perlu.
“Hey, Bapak dan Ibu senang kok melakukan ini. Suatu hari kamu akan tahu, Nak — kebahagiaan bukan cuma datang dari barang-barang. Tapi juga dari kecukupan ia yang disayang. ”, kata Ibu pada suatu petang.
Pak, Bu. Sesungguhnya kehadiran kalian jadi alasan kuat agar aku tak kehilangan semangat atau berhenti berjuang. Aku punya dua orang yang kuat di belakang. Kalian membuatku tak pernah kehabisan stok sayang.


Pendampingan Bapak-Ibu membuatku berkembang jadi anak yang berani bermimpi. Namun di tengah gempuran mimpi, Bapak dan Ibu mengingatkanku untuk tetap rendah hati


Ada masa aku pernah jadi anak paling keras kepala sedunia. Merasa paling tahu, merasa bisa memutuskan semua hal sesuai dengan keinginanku. Saran dan masukan dari Bapak dan Ibu kuanggap hanya angin lalu.
Bapak dan Ibu punya pilihan untuk jadi orangtua otoriter yang ogah membuka telinga demi mendengar keinginan. Tapi hal itu tidak kalian lakukan. Ibu memilih membuka obrolan di sore hari, berbincang ringan sembari menyelipkan nilai yang harusnya kuteladani.
Bapak pun melakukan hal yang sama dalam porsinya. Dengan sabar Bapak malah mengajakku berbincang seperti orang dewasa. Bapak ceritakan harapan dan kondisi keuangan keluarga: bukan karena apa-apa, kata Bapak. Satu yang Bapak mau, Bapak hanya ingin aku paham diri dan tak lupa akarku.
Bapak dan Ibu adalah dua orang yang membuatku tetap waras di tengah badai impian yang melanda kepala. Setinggi apapun cita-cita di dada, Bapak dan Ibu membentukku jadi orang yang tetap mau membuka telinga.
“Kamu belum sehebat itu, Nak.“,
kata Ibu.
“Rendahkan hati, berjalanlah terus, serap kebaikan dari sekelilingmu.”

Selama ini aku tak pernah bertanya. Apakah yang kuperjuangkan adalah yang Bapak-Ibu harapkan? Apakah semangatku berusaha memang ada di jalan yang selalu kalian doakan?


Jika sekarang melongok ke belakang, sebenarnya bisa kulacak jejak-jejak keinginan yang dititipkan pada setiap langkahku yang direncanakan.
Aku masuk ke SMA yang jadi idaman Ibu. Jurusan kuliahku adalah impian Ayah dulu. Dalam beberapa episode hidup, ada impian kalian yang dititipkan padaku.
Dulu, aku yang masih labil merasa tak adil rasanya jika hidup hanya untuk melanjutkan impian-impian kalian saja. Kuambil jalan berseberangan agar hidup terasa beda, kupilih apapun yang terasa tak sama dari yang sudah kalian lakukan sebelumnya.
Anakmu ini memang pernah senaif itu Pak, Bu. Tapi jika kini ditanya lagi, tak sedikitpun keberatan kulakoni pilihan-pilihan yang dulu kalian sorongkan di hadapanku.
Lewat tulisan ini pula kuharap akan kudengar “Iya” sebagai jawaban —saat pertanyaan-pertanyaan ini kuajukan:
“Banggakah Bapak-Ibu pada jalan yang sudah kupilih untuk diperjuangkan?”
“Benarkah semangat yang berkobar ini ada di jalan yang selalu kalian doakan?”
“Apakah sebagai anak, aku sudah cukup memenuhi segala keinginan?”
Sebab apa lagi yang lebih menyenangkan dari menciptakan senyum bahagia di wajah kalian, Bapak dan Ibu sayang?

Atas nama kepercayaan dan keyakinan akan kemampuan. Untuk semangat yang terus kalian kobarkan. Semoga Tuhan hanya membalas Bapak dan Ibu dengan kebaikan


ungkapkan saat aku sedang merasa kurang percaya.Waktu rasa tak yakin akan kemampuan diri melanda, Bapak dan Ibu jadi penyokong di tulang belakang agar aku bisa berjalan lebih lama.
“Kamu tidak Bapak dan Ibu didik untuk jadi pecundang. Bersemangatlah terus, Nak. Jadi Kesatria Semangat membuatmu tidak pernah kehilangan alasan untuk berjuang. Jika pun akhirnya gagal, kamu masih bisa mengangkat dagu dengan terhormat lalu pulang.”
Keyakinan Bapak dan Ibu sering kuanggap kata-kata manis saja. 
Tapi sekarang aku tahu. Kepercayaan kalian memang menggandakan kekuatan langkahku.
Di luar kemampuanku boleh dipertanyakan di tengah mereka yang lebih profesional. Kecerdasanku bisa dianggap biasa saja di antara mereka yang lebih piawai merangkai rumus dan kata. Tapi di rumah, aku punya dua orang yang selalu percaya. Dua orang yang selalu yakin aku mampu melakukan apa saja, selama semangat itu ada.
Untuk kesediaan Ibu menjadi pendengar setiap aku dilanda kesulitan. Untuk Mizone dingin di kulkas yang selalu siap sedia menyambutku pulang. Untuk perbincangan singkat dengan Bapak yang kadang kaku tapi sarat makna — sungguh Pak, Bu. Semoga hanya kebaikan yang datang pada kalian berdua.

Perjuangan ini bukan cuma soal aku. Pak, Bu, anakmu ini berjanji akan terus semangat demi membahagiakanmu


Kusadari sekarang, Pak-Bu. Semua yang kulakukan bukan hanya demi mimpiku sendiri. Ada senyum bangga Ibu yang akan terukir di muka waktu aku bisa lulus Sarjana. Bapak diam-diam tak akan berhenti bercerita pada kerabat selepas tahu aku diterima beasiswa.
Keberhasilan jadi perwujudan keberhasilan kalian mendidikku. Tak ada alasan lagi bagiku untuk tidak berusaha sekeras yang kumampu.

Satu yang perlu Bapak Ibu tahu. Dari rahim Ibu dan didikan tangan Bapak tumbuh besar seorang anak yang jauh dari sempurna, terkadang menyebalkan dan sering keras kepala. Tapi dia rela pasang badan demi kebahagiaan kalian berdua.

Berhentilah berlari kencang dan menualah dengan tenang Bapak-Ibuku sayang. Kini giliranku maju ke depan, menggantikan tugas kalian membesarkan adik-adik yang masih perlu sokongan. Merawat rumah dan membayar semua tagihan. Memastikan hanya kebahagiaan yang menyapa sampai nanti panggilan Tuhan datang.
Ini bukan soal balas budi. Bapak dan Ibu jelas cukup lapang hati untuk tidak minta apapun dari anak yang sudah dibesarkan ini. Tapi bukankah sedari kecil, Bapak dan Ibu selalu mengajarkanku arti menghargai?
Buatku, menghargai perjuangan kalian berarti tidak menyerah pada ketidakmungkinan. Mengobarkan semangat setiap rasa ingin menyerah datang. Jadi Kesatria Semangat untuk tidak mudah menyerah pada keadaan.
Demi periuk kebahagiaan kalian, yang penuh terisi — meluber hingga ke luar.

Anak yang berjanji terus semangat terus demi mengusahakan kebahagiaan Bapak dan Ibu,
Aku

Tidak ada komentar

Posting Komentar

tulis komentar mu di sini