Meninggalkan Maksiat Bukan Karena Allah, Apakah Berpahala? |
Terkadang
sebagian orang menjauhi perbuatan yang haram bukan karena takut pada Allah
‘azza wa jalla, namun karena takut pada manusia, apakah berpahala?
Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid
Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid
Soal:
Terkadang
sebagian orang menjauhi perbuatan yang haram bukan karena takut pada Allah ‘azza
wa jalla, namun karena takut pada manusia, ia mengerjakannya murni karena
faktor manusia. Misalnya, ketika seseorang menjauhi bepergian ke tempat-tempat
yang bercampur antara pria wanita, diskotik, pesta yang diharamkan, dengan
sebab supaya tidak dilihat oleh orang tertentu, bukan karena Allah ‘azza wa
jalla yang Maha Mengetahui hal demikian. Apakah ini tergolong
kesyirikan kecil? Atau bagaimana? Lalu bagaimana dengan anak-anak yang
mengerjakan shalat semata-mata agar orangtuanya ridha dan bukan karena Allah
‘azza wa jalla?
Jawab :
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah.
Pertama, ketika seseorang meninggalkan kemaksiatan, maka ia tidak
lepas dari beberapa kondisi berikut:
1. Ia
meninggalkan kemaksiatan karena takut pada Allah, maka ia berpahala atas
perbuatan meninggalkan maksiatnya itu. Berdasarkan sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits Qudsi,
|وَإِنْ
تَرَكَهَا – أي : السيئة – مِنْ أَجْلِي فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً…
“Dan
apabila ia meninggalkannya –yaitu kemaksiatan– karena Aku niscaya Aku akan
mencatatnya sebagai kebaikan..” (HR Bukhari 7501).
2. Ia meninggalkan kemaksiatan itu karena
ingin dilihat oleh manusia dan mencari pujian dari mereka. Maka ini tidaklah
berpahala jika ia meninggalkan kemaksiatan tersebut. Bahkan ia berdosa
atasnya. Karena meninggalkan kemaksiatan adalah ibadah, dan ibadah
tidak boleh dilakukan kecuali hanya karena Allah semata.
Ibn Rajab
Al Hambali rahimahullah menjelaskan, “Adapun apabila
seseorang bertekad untuk bermaksiat kemudian ia meninggalkannya karena takut
ketahuan manusia, atau karena riya’ di hadapan manusia, maka dikatakan,
‘Bahwasanya ia berdosa dengan perbuatan meninggalkan kemaksiatan tersebut
karena niatnya, karena ia mendahulukan manusia daripada karena takut pada
Allah. Sebagaimana mengerjakan ibadah karena riya’ kepada manusia adalah haram,
maka begitu pula meninggalkan kemaksiatan karena manusia pun berdosa” (selesai
nukilan dariJaami’ul ‘Ulum wal Hikam 2/321).
Ibn
Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah menjelaskan, “Meninggalkan
maksiat karena selain Allah, bukan karena Allah semata, maka ia berdosa
walaupun karena meninggalkan maksiat, karena ia meninggalkannya bukan karena
Allah. Sebagaimana orang mengerjakan suatu ibadah bukan karena Allah, ia
berdosa. Oleh sebab perbuatan meninggalkan sesuatu dan menjauhinya adalah
tergolong amalan hati, maka apabila ia mengerjakan suatu ibadah selain untuk
Allah maka ia berhak mendapatkan dosa” (selesai nukilan dari Syifa’ul
‘Aliil 170)
3. Ia
meninggalkan kemaksiatan karena malu kepada manusia. Maka ini tidaklah
berdosa. Akan tetapi ia berpahala apabila ia memiliki tujuan syar’i
yang dicintai Allah Ta’ala. misalnya ia meninggalkan kemaksiatan itu karena
takut dicela oleh kalangan da’i dan pemuka agama di tempat itu.
Ibn
Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah menjelaskan dalam rangka
membedakan dengan kondisi sebelumnya di atas, “Maka apabila ada pertanyaan
apakah ia berdosa karena meninggalkan kemaksiatan dengan sebab malu kepada manusia
dan mempertahankan kehormatannya di mata mereka, takut apabila kehormatannya
jatuh akibat perbuatan maksiat, maka Allah subhanahu tidak mencelanya dan tidak
melarang hal tersebut.
Pendapat
lain menyatakan, tidaklah diragukan lagi bahwa ia tidak berdosa atas hal itu,
hanyasanya ia berdosa karena taqarrub (mendekatkan diri) pada manusia dan
berbuat riya’ kepada mereka. Apabila ia meninggalkan kemaksiatan itu karena
takut pada Allah dan mendekatkan diri padaNya, padahal batinnya tidak seperti
itu, maka berbeda antara meninggalkan maksiat karena taqarrub pada manusia dan
berbuat riya’ pada mereka, dan meninggalkan maksiat karena malu pada manusia,
takut pada gangguan mereka bila ketahuan, dan jatuhnya martabat. Maka ini tidak
berdosa atasnya bahkan berpahala apabila tujuannya dicintai Allah, misalnya
agar menjaga martabat dakwah, atau supaya dakwahnya diterima dan sebagainya”
(selesai nukilan dari Syifa’ul ‘Aliil 170).
4.
Meninggalkan maksiat karena semata-mata tidak mau mengerjakannya, bukan karena
takut pada Allah atau karena faktor dari manusia lain. Maka ia tidak
berpahala, juga tidak berdosa.
Syaikhul
Islam rahimahullah menjelaskan, “Adapun apabila ia
meninggalkan maksiat karena takut pada Allah maka akan dicatat oleh Allah
sebagai kebaikan sempurna. Berdasarkan hadits,
اكتبوها له حسنة فإنما تركها من أجلي
“Catatlah
ia sebagai kebaikan karena sesungguhnya ia meninggalkan (maksiat) karena Aku”.
Adapun
apabila ia meninggalkan maksiat karena faktor lain, maka tidak tercatat sebagai
dosa, sebagaimana dalam hadits lain,
فإن لم يعملها لم تكتب عليه
“Apabila
ia tidak mengerjakannya maka tidak ada catatan atasnya”
-selesai
nukilan dari Majmu’ Al Fatawa 10/738
Kedua, sesungguhnya ibadah tidaklah diterima kecuali dengan dua syarat
:
- Mengikhlaskan
niat karena Allah Ta’ala, yaitu dengan menujukan perkataannya,
perbuatannya baik yang lahir maupun batin, semuanya dalam rangka
mengharap wajah Allah Ta’ala, bukan karena selainNya.
- Mencocoki
syariat yang diperintahkan Allah Ta’ala dan tidak beribadah kecuali dengan
syariat tersebut. Hal ini dengan cara mengikuti apa yang dibawa Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, dan tidak menyelisihinya. Tidak mengada-adakan
bid’ah yang baru dalam hal ibadah, bentuk ibadah baru yang tidak
disyariatkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Dalil
bagi kedua syarat ini adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً
صَالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً
“Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka
hendaklah dia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah dia mempersekutukan
dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya” (QS. Al
Kahfi : 110).
Oleh
karena itu, apabila seorang anak shalat karena takut kepada orangtuanya atau
mencari keridahaan mereka, dan tidak berniat mencari keridhaan Allah, maka
shalatnya tidaklah diterima. Karena shalat adalah termasuk ibadah, dan ibadah
tidak boleh dilakukan kecuali karena Allah semata.
Adapun
apabila ia meniatkan dalam shalatnya, mayoritas niatnya adalah mencari
keridhaan Allah, kemudian juga mencari keridhaan orangtuanya, maka shalatnya
diterima insya Allah.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar
Posting Komentar
tulis komentar mu di sini