Dikisahkan dalam sebuah perjalanan, Amirul Mukminin Umar bin
Khattab yang juga sahabat Rasulullah mencurigai adanya kemaksiatan yang terjadi
di dalam rumah seorang pria. Dipicu perasaan tanggung jawabnya sebagai
pemimpin, Khalifah kedua yang terkenal sangat tegas ini lantas mencoba mencari
tahu apa yang terjadi di dalam rumah.
Setelah bisa dipastikan bahwa di dalam rumah tersebut memang ada
kemungkaran yang sedang dilakukan oleh pemilik rumah, Sayyidina Umar menerobos
masuk ke dalam rumah dengan memanjatnya lantaran pintu rumah terkunci rapat.
Dijumpainya si pria tersebut memang sedang melakukan kemungkaran (tidak ada
riwayat, apa kemungkaran yang diperbuat pria tersebut: Red).
Melihat sang khalifah tiba-tiba berada di dalam rumahnya, pria
tersebut justru marah. Ia mengakui dirinya memang telah berbuat dosa. Tetapi
menurut dia kesalahannya cuma satu. “Tetapi engkau telah berbuat tiga kesalahan
sekaligus, hai Amirul Mukminin,” ucapnya.
Kesalahan pertama, lanjutnya, Khalifah Umar dinilai telah
mencari-cari keburukan orang lain (tajassus) yang jelas dilarang dalam
Al-Qur’an surat Al-Hujurat:12. Kedua, ia memasuki rumah orang lain dengan
memanjat dan tidak melalui pintu seperti yang diperintahkan Al-Qur’an surat
Al-Baqarah:189. Ketiga, Umar masuk ke rumah orang lain tanpa izin dan tanpa
mengucapkan salam, padahal Allah memerintahkannya dalam Al-Quran surat Al-Nur:
27.
Menyadari kesalahan tindakannya, Khalifah Umar RA akhirnya
meninggalkan orang tersebut dan hanya menyuruhnya bertobat. Sesampainya di
rumah, Umar mengumpulkan sahabat untuk diajak bermusyawarah, dan beliau
bertanya, “Bagaimana jika seorang pemimpin menyaksikan kemungkaran di depan
matanya dengan sendirian (tanpa saksi), apakah ia masih terkena kewajiban untuk
memberikan hukuman?”
Sayyidina Ali bin Abu Thalib karramallahu wajhah lantas
menjawab, hukuman itu bisa dilaksanakan minimal dengan dua saksi yang adil,
tidak cukup hanya satu orang. (Sumber kisah: Ihya’ Ulumiddin, Vol. 2,
halaman 320)
Melalui kisah tersebut, Hujjatul Islam Al-Ghazali menyaratkan
bahwa nahi munkar (mencegah
kemungkaran) hanya bisa dilakukan jika kemunkaran itu terjadi di ruang publik.
Jika kemungkaran dilakukan secara diam-diam di dalam rumah sendiri yang
tertutup rapat dan tidak membuat kegaduhan, maka tidak ada hak bagi orang lain
untuk menerobos masuk agar bisa menyaksikan kemungkaran tersebut. Artinya,
kewajiban nahi munkar gugur. Kisah tersebut juga mengajarkan bahwa aksi nahi
minkar harus dilaksanakan dengan cara-cara yang ma’ruf (elegan dan penuh
etika).
Tidak ada komentar
Posting Komentar
tulis komentar mu di sini